Senin, 15 September 2014

PERISTIWA LIMA HARI DI SEMARANG

    Menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka kekuasaan Jepang di Indonesia seharusnya berakhir. Mr Wongsonegero ditunjuk sebagai Penguasa Republik di Jawa Tengah dan pusat pemerintahannya di Semarang, maka adalah kewajiban Pemerintah di Jawa Tengah mengambilalih kekuasaan yang selama ini dipegang Jepang, termasuk bidang pemerintahan, keamanan dan ketertibannya. Maka terbentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
       Di beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan senjata Jepang tanpa kekerasan antara lain di Banyumas, tetapi terjadi kekerasan justru di ibu kota Semarang. Kido Butai (pusat Ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampak tidak memberikan persetujuannya secara menyeluruh, meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang. Permintaan yang berulang-ulang cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa, dan itu pun senjata-senjata yang sudah agak usang. Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin bertambah, setelah Sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa.
      Pihak Indonesia khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada Sekutu, dan berpendapat kesempatan memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Karena sudah pasti pasukan Belanda yang bergabung dengan Sekutu akan ikut dalam pendaratan itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi. Pertempuran 5 hari di Semarang ini dimulai menjelang minggu malam tanggal 15 Oktober 1945. Keadaan kota Semarang sangat mencekam apalagi di jalan-jalan dan kampung-kampung dimana ada pos BKR dan Pemuda tampak dalam keadaan siap. Pasukan Pemuda terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan organisasi para pemuda lainnya.
         Pada konteks ini,  Markas Jepang dibantu oleh pasukan Jepang, yang dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta, tapi karena persoalan logistik, pasukan ini singgah di Semarang. Pasukan ini merupakan pasukan tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian. Keadaan kontras sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi pasukan Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya, sementara kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan hampir-hampir tidak bersenjata. Sebagian besar belum pernah mendapat latihan, kecuali diantaranya dari pasukan Polisi Istimewa, anggota BKR, dari ex-PETA dan Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer, tapi tanpa pengalaman tempur.
       Pertempuran lima hari di Semarang ini diawali dengan pemberontakan tentara Jepang yang bertugas membangun pabrik senjata di Cepiring dekat Semarang. Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari Cepiring hingga Jatingaleh yang terletak di bagian atas kota. Di Jatingaleh pasukan Jepang yang dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut. Suasana kota Semarang menjadi panas. Terdengar bahwa pasukan Kidobutai Jatingaleh akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia.
       Situasi bertambah panas dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat, bahwa cadangan air minum di Candi (Siranda) telah diracuni. Pihak Jepang yang disangka telah melakukan peracunan lebih memperuncing keadaan dengan melucuti delapan orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum itu. dr Kariadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purasara) ketika mendengar berita ini langsung memutuskan untuk segera memeriksa reservoir itu, istrinya, drg. Sonarti, mencoba mencegahnya karena berpendapat bahwa suasana sedang sangat berbahaya, namun tidak berhasil. Dalam perjalanan dr. Kariadi dan beberapa tentara pelajar ditembak secara keji. dr. Kariadi sempat dibawa ke rumah sakit sekitar namun tidak dapat diselamatkan, sehingga gugurnya dr. Kariadi menyulut kemarahan warga Semarang.

         Pada 15 Oktober 1945 pukul 03.00, Mayor Kido memerintahkan untuk melakukan penyerangan ke pusat kota, 16 Oktober 1945 pertempuran terus berlanjut, 17 Oktober 1945 Jepang berunding dengan Mr. Wongsonegoro, 18 Oktober 1945 ada perundingan gencatan senjata oleh Kasman Singodimejo dan Jenderal Nakamura. Dalam perundingan ini, Jepang ingin agar senjata yang direbut segera dikembalikan bila tidak Jepang akan melakukan pengeboman pada 19 oktober 1945 pukul 10.00. Kedatangan Sekutu di pelabuhan Semarang dengan kapal HMS Glenry pada 19 Oktober 1945 mempercepat perdamaian antara Jepang dan rakyat sehingga perang berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar