Mappabotting: Upacara Adat Perkawinan Orang Bugis, Sulawesi Selatan
Pasangan pengantin Bugis bersama passeppi (pagar ayu)
berdiri di atas pelaminan
Mappabotting
adalah upacara adat perkawinan orang Bugis di Selawesi Selatan. Secara
garis besar, pelaksanaan upacara adat ini dibagi menjadi tiga tahap,
yaitu upacara pra perkawinan, pesta perkawinan, dan pasca perkawinan.
1. Asal-usul
Mappabotting dalam bahasa Bugis berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala
yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian,
perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan
jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan (Christian Pelras,
2006:178). Menurut Ibrahim A (dalam Badruzzaman, 2007), istilah
perkawinan dapat juga disebut siabbinéng dari kata biné yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata biné jika mendapat awalan “ma” menjadi mabbiné berarti menanam benih. Kata biné atau mabbiné ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata bainé (istri) atau mabbainé (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbinéng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.
Menurut
pandangan orang Bugis, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua mempelai
dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara
yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin
sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppé mabélaé
atau mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006:178). Oleh karena itu,
perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung
antarkeluarga dekat atau antarkelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68).
Meskipun sistem perkawinan endogami
tersebut masih bertahan hingga sekarang, namun tidak dianut secara
ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak dilakukan di luar
lingkungan kerabat elautherogami (Hadikusuma, 2003:69). Kendati
demikian, peran orang tua tetap diperlukan untuk memberikan petunjuk
anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari keturunan orang
baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan, keterampilan rumah tangga, serta memiliki pengetahuan agama.
Dengan
demikian, keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta
perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai
penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. H. TH. Chabot
(dalam Badruzzaman, 2007) mengatakan, pilihan pasangan hidup bukanlah
urusan pribadi, namun merupakan urusan keluarga dan kerabat. Untuk
itulah, perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat.
Alasan
lain orang Bugis harus mengadakan pesta perkawinan adalah karena hal
tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat.
Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial
soseorang. Millar (dalam Pelras, 2006:184) pernah mengatakan bahwa
upacara perkawinan merupakan media bagi orang Bugis untuk menunjukkan
posisinya dalam masyarakat dengan menjalankan ritual-ritual serta
mengenakan pakaian-pakaian, perhiasan, dan berbagai pernak-pernik
tertentu sesuai dengan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Oleh
karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan
sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.
2. Bahan-bahan dan Perlengkapan
Bahan-bahan yang digunakan dalam upacara perkawinan orang Bugis di antaranya adalah:
- Sompa, yaitu mahar atau mas kawin dalam bentuk uang real sebagai syarat sah peminangan menurut Islam.
- Dui’ ménré atau dui’ balanca, yaitu sejumlah uang belanja dari mempelai pria sebagai syarat sah peminangan menurut adat. Uang tersebut digunakan membiayai pesta pernikahan mempelai wanita.
- Cicing passiok, yaitu cincin emas dari mempelai pria untuk mengikat mempelai wanita.
- Sarung sutera sebagai hadiah untuk kedua belah pihak keluarga mempelai.
- Seperangkat peralatan dalam acara mappacci seperti daun pacar, bantal, pucuk daun pisang, lilin, bekkeng (tempat daun pacar dari logam), wenno (padi yang disangrai), dan daun nangka.
- Berbagai macam makanan dan kue-kue tradisional Bugis seperti beppa puteh, nennu-nennu, palopo, barongko, paloleng, sanggarak, lapisi, cangkueng, badda-baddang, dan lain-lain sebagainya.
- Bosara, yaitu tempat menyimpan kue-kue tradisional Bugis, dan sebagainya.
3. Tempat Pelaksanaan
Upacara
atau pesta perkawinan menurut adat Bugis umumnya dilaksanakan di rumah
masing-masing kedua mempelai. Untuk acara akad nikah dilakukan di rumah
mempelai wanita pada tahap mappenré botting
(mengantar pengantin). Namun bagi keluarga yang ingin menghemat biaya,
pesta perkawinan hanya dilakukan pada satu tempat, yaitu biasanya di
tempat mempelai wanita. Pelaksanaan pesta perkawinan semacam ini disebut
dengan masséddi dapureng.
4. Proses Pelaksanaan Upacara
Secara
garis besar, pelaksanaan upacara adat perkawinan orang Bugis di
Sulawesi Selatan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra
perkawinan, resepsi/pesta perkawinan, dan pasca perkawinan.
a. Upacara Pra Perkawinan
Pada tahap pra perkawinan ini, dilaksanakan beberapa kegiatan, yaitu:
- Pemilihan Jodoh
Proses paling awal menuju perkawinan dalam adat Bugis adalah pemilihan jodoh. Orang
Bugis umumnya mempunyai kecenderungan memilih jodoh dari lingkungan
keluarga sendiri karena dianggap sebagai hubungan perkawinan atau
perjodohan yang ideal. Perjodohan ideal yang dimaksud adalah siala massaposiseng[1] (perkawinan antarsepupu satu kali), siala massapokadua (perkawinan antarsepupu dua kali), dan siala massoppokatellu (perkawinan antarsepupu tiga kali) (Pelras, 2006:178, lihat juga Mattulada,1985:44).
Kendati
demikian, ketiga jenis perjodohan tersebut di atas bukanlah suatu hal
yang diwajibkan. Dewasa ini, pria yang akan menikah dapat memilih jodoh
dari luar lingkungan kerabat. Adapun perjodohan ideal selain dari
kerabat adalah perjodohan yang didasarkan pada kedudukan assikapukeng,
yaitu kedua mempelai memiliki stratifikasi sosial yang sederajat di
dalam masyarakat, baik dilihat dari segi keturunan (bangsawan atau orang
biasa), pendidikan, kedudukan dalam struktur pemerintahan, maupun harta
kekayaan. Setelah jodoh yang telah dipilih dirasa sudah cocok, maka
proses selanjutnya adalah mammanu’-manu’
- Mammanu’-manu’ (penjajakan)
Mammanu’-manu’ atau biasa juga disebut mappése-pése, mattiro, atau mabbaja laleng
adalah suatu kegiatan penyelidikan yang biasanya dilakukan secara
rahasia oleh seorang perempuan dari pihak laki-laki untuk memastikan
apakah gadis yang telah dipilih sudah ada yang mengikatnya atau belum.
Kegiatan penyelidikan ini juga bertujuan untuk mengenali jati diri gadis
itu dan kedua orang tuanya, terutama hal-hal yang berkaitan dengan
keterampilan rumah tangga, adab sopan-santun, tingkah laku, kecantikan,
dan juga pengetahuan agama gadis tersebut. Jika menurut hasil
penyelidikan belum ada yang mengikat gadis itu, maka pihak keluarga
laki-laki memberikan kabar kepada pihak keluarga gadis bahwa mereka akan
datang menyampaikan pinangan.
- Madduta atan massuro (meminang)
Madduta atau massuro artinya
pihak laki-laki mengutus beberapa orang terpandang, baik dari kalangan
keluarga maupun selain keluarga, untuk menyampaikan lamaran kepada pihak
keluarga gadis. Utusan ini disebut To Madduta sedangkan pihak keluarga gadis yang dikunjungi disebut To Riaddutai. To Madduta memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan diterima atau tidaknya suatu pinangan. Oleh karena itu, To Madduta harus berhati-hati, bijaksana, dan pandai membawa diri agar kedua orang tua gadis itu tidak tersinggung (A. Rahim Mame, et. al. 1977/1978:62).
Kegiatan madduta biasa juga disebut dengan istilah mappetu ada,
yaitu pertemuan antara kedua belah pihak keluarga untuk merundingkan
dan memutuskan segala sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan
putra-putri mereka. Hal-hal yang dibicarakan dalam acara mappettu ada tersebut di antaranya mahar (meliputi dui’ menré dan sompa) dan tanré esso (penentuan hari) (Mame, et. al. 1978: 64).
Pembicaraan harus dimulai dari masalah mahar karena merupakan tahap
yang paling prinsipil dan menjadi penentu diterima atau ditolaknya
sebuah pinangan.
Mahar
dalam adat perkawinan orang Bugis dikenal sangat tinggi karena seorang
laki-laki yang akan menikah tidak hanya diwajibkan memberi sompa atau mahar sebagai kewajiban seorang muslim, tetapi juga diwajibkan memberikan dui’ menré (uang naik) atau dui’ balanca (uang belanja) kepada pihak keluarga perempuan. Menurut Hadikusumah (1990:57), dui’ menré
merupakan uang petindih, yaitu uang jemputan kepada pihak perempuan
sebagai salah satu syarat sahnya pinangan atau pertunangan menurut adat.
Dalam pembicaraan ini terjadi tawar-menawar antara To Madduta dengan To Riaddutai.
Besar kecilnya jumlah dui’ menré dalam perkawinan
orang Bugis sangat dipengaruhi oleh status sosial pihak perempuan.
Semakin tinggi status sosial keluarga perempuan semakin besar pula
jumlah dui’ menré yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki (Abdullah, 1983:267). Oleh karena itu, pihak laki-laki yang diwakili oleh To Madduta
harus pandai-pandai melakukan negosiasi kepada pihak keluarga
perempuan. Jika kedua belah pihak telah menuai kesepakatan bersama
masalah jumlah mahar berarti pinangan To Madduta diterima.
Setelah pinangan diterima, acara mappettu ada dilanjutkan dengan membicarakan masalah tanré esso atau penentuan hari perkawinan. Penentuan
hari pada saat ini biasanya disesuaikan dengan penanggalan Islam.
Setelah penentuan hari perkawinan selesai, selanjutnya ditentukan lagi
hari untuk pertemuan berikutnya guna mengukuhkan kesepakatan-kesepakatan
yang telah dibuat. Acara mappettu ada kemudian ditutup dengan jamuan makan bersama, di mana rombongan To Madduta disuguhi
berbagai hidangan makanan yang terdiri diri kue-kue khas Bugis yang
pada umumnya manis rasanya sebagai simbol pengharapan agar kehidupan
kedua calon mempelai selalu manis (senang) di kemudian hari.
- Mappasiarekeng (mengukuhkan kesepakatan)
Mappasiarekeng berarti mengukuhkan kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Acara ini dilaksanakan di tempat mempelai perempuan. Pengukuhan
kesepakatan ditandai dengan pemberian hadiah pertunangan dari pihak
mempelai pria kepada pihak mempelai wanita sebagai passio’ atau pengikat berupa sebuah cincin emas dan sejumlah pemberian simbolis lainnya seperti tebu sebagai simbol kebahagiaan, panasa (buah nangka) sebagai simbol minasa (pengharapan), sirih pinang, sokko (nasi ketan), dan berbagai kue-kue tradisional lainnya (Pelras, 2006:181).
Pada acara mappasiarekeng tersebut pihak laki-laki juga menyerahkan dui’ menré—yang jumlahnya berdasarkan kesepakatan—kepada pihak perempuan untuk digunakan dalam pesta perkawinan. Penyerahan dui’ menré dan hadiah-hadiah lainnya diwakili oleh kerabat atau sahabat terdekat orang tua mempelai laki-laki.
- Mappaisseng dan mattampa (menyebarkan undangan)
Mappaisseng
adalah mewartakan berita mengenai perkawinan putra-putri mereka kepada
pihak keluarga yang dekat, para tokoh masyarakat, dan para tetangga.
Pemberitahuan tersebut sekaligus sebagai permohonan bantuan baik
pikiran, tenaga, maupun harta demi kesuksesan seluruh rangkaian upacara
perkawinan tersebut. Pemberian bantuan harta biasanya dilakukan oleh
pihak keluarga dekat.
Sementara itu, mattampa atau mappalettu selleng (mappada)
adalah mengundang seluruh sanak keluarga dan handai taulan yang
rumahnya jauh, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Kegiatan ini
biasanya dilakukan sekitar satu hingga sepuluh hari sebelum resepsi
perkawinan dilangsungkan. Tujuan dari mengundang seluruh sanak keluarga
dan handai taulan tentu saja dengan harapan mereka bersedia memberikan
doa restu kepada kedua mempelai.
- Mappatettong sarapo/baruga (mendirikan bangunan)
Mappatettong sarapo atau baruga adalah mendirikan bangunan tambahan untuk tempat pelaksanaan acara perkawinan. Sarapo adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping kiri/kanan rumah induk sedangkan baruga
adalah bangunan tambahan yang didirikan terpisah dari rumah induk. Pada
kedua bangunan tersebut biasanya diberi dinding yang terbuat dari
anyaman bambu yang disebut dengan wolasuji dan di atasnya digantung janur kuning. Di dalam kedua bangunan tambahan tersebut juga dibuatkan pula lamming atau pelaminan sebagai tempat duduk mempelai dan kedua orang tuanya.
Jika
dalam pesta tersebut terdapat pementasan kesenian seperti kecapi Bugis,
musik gambus, atau orkes, biasanya dibuatkan panggung di samping
pelaminan. Pendirian sarapo atau baruga biasanya dilakukan
tiga hari sebelum pesta perkawinan dilangsungkan oleh para kerabat dan
tetangga dekat secara bergotong-royong. Dewasa ini, sarapo atau baruga sudah jarang digunakan karena tersedianya persewaan gedung atau tenda-tenda yang lengkap dengan segala peralatannya.
- Mappassau botting dan cemmé passili’ (merawat dan memandikan pengantin)
Mappasau botting berarti
merawat pengantin. Kegiatan ini dilakukan dalam satu ruangan tertentu
selama tiga hari berturut-turut sebelum hari “H” perkawinan. Perawatan
ini dilakukan dengan menggunakan berbagai ramuan seperti daun sukun,
daun coppéng (sejenis anggur), daun pandan, rempah-rempah, dan akar-akaran yang berbau harum. Sementara itu, cemmé passili’
berarti mandi tolak balak, yaitu sebagai bentuk permohonan kepada Allah
SWT agar kiranya kedua mempelai dijauhkan dari segalam macam bahaya
atau bala. Upacara ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum hari “H”
perkawinan, yaitu sekitar pukul 10.00 pagi. Setelah mandi tolak bala,
mempelai wanita masih harus melaksanakan ritual maccéko, yaitu mencukur bulu-bulu halus.
- Mappanré temme (khatam al-Quran) dan pembacaan barzanji
Sebelum memasuki acara mappaci,
terlebih dilakukan acara khatam al-Quran dan pembacaan barzanji sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepad Nabi Muhammad
SAW. Acara ini biasanya dilaksanakan pada sore hari atau sesudah shalat
ashar dan dipimpin oleh seorang imam. Setelah itu, dilanjutkan acara
makan bersama dan sebelum pulang, para pembaca barzanji dihadiahi kaddo, yaitu nasi ketan berwarna kuning yang dibungkus dengan daun pisang sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah.
- Mappacci atau tudammpenni (mensucikan diri)
Pada malam menjelang hari “H” perkawinan, kedua mempelai melakukan kegiatan mappaci atau tudammpenni di rumah masing-masing. Acara ini dihadiri oleh kerabat, pegawai syara’, orang-orang terhormat, dan para tetangga. Kata mappaci berasal dari kata pacci, yaitu daun pacar (lawsania alba). Pacci dalam kata bahasa Bugis berarti bersih atau suci sedangkan tudammpenni secara harfiah berarti duduk malam. Dengan demikian, mappacci dapat diartikan mensucikan diri pada malam menjelang hari “H” perkawinan. Dikatakan dalam ungkapan ungkapan orang Bugis:
Mappacci
iyanaritu gau’ ripakkéonroi nallari ade’, mancaji gau mabbiasa, tampu’
sennu-sennuang, ri nia akkatta madécéng mammuaréi nalétéi pammasé Déwata
Séuwaé
Artinya: Mappacci merupakan
upacara yang sangat kental dengan nuansa bathin. Dimana proses ini
merupakan upaya manusia untuk membersihkan dan mensucikan diri dari
segala hal yang tidak baik. Dengan keyakinan bahwa segala tujuan yang
baik harus didasari oleh niat dan upaya yang baik pula.
Acara mappacci dimulai dengan penjemputan (padduppa)
mempelai untuk dipersilakan duduk di pelaminan. Acara penjemputan
biasanya disampaikan oleh juru bicara keluarga melalui ungkapan berikut:
Patarakkai mai bélo tudangeng
Naripatudang siapi siata
Taué silélé uttu patudangeng
Padattudan mappacci siléo-léo
Riwenni tudammpenni kuaritu
Paccingi sia datu bélo tudangeng
Ripatajang mai bottingngéNaripatteru cokkong di lamming lakko ulaweng
Naripatudang siapi siata
Taué silélé uttu patudangeng
Padattudan mappacci siléo-léo
Riwenni tudammpenni kuaritu
Paccingi sia datu bélo tudangeng
Ripatajang mai bottingngéNaripatteru cokkong di lamming lakko ulaweng
Artinya: Calon
mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan di sisi para
pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka
ria di malam tudammpenni. Mappaci pada sang raja/ratu mempelai nan
rupawan. Tuntun dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan yang
bertahtakan emas (Badruzzaman, 2007).
Setelah
mempelai pengantin duduk di pelaminan berbagai perlengkapan disiapkan
di depannya dengan cara disusun dari bawah ke atas yaitu satu buah
bantal sebagai simbol mappakalebbi (penghormatan), tujuh lembar
sarung sutera sebagai simbol harga diri, selembar pucuk daun pisang
sebagai simbol kehidupan yang berkesinambungan, tujuh sampai sembilan
daun nangka sebagai simbol ménasa (harapan), sepiring wenno
(padi yang disangrai hingga mengembang) sebagai simbol berkembang
dengan baik, sebatang lilin yang dinyalakan sebagai simbol penerangan,
daun pacar yang telah dihaluskan sebagai simbol kebersihan atau
kesucian, dan bekkeng (tempat pacci yang terbuat dari logam) sebagai simbol penyatuan dua insane.
Setelah
semua perlengkapan siap, selanjutnya MC mulai mengundang satu persatu
kerabat dan beberapa tamu undangan untuk meletakkan atau mengusapkan pacci
ke telapak tangan calon mempelai. Orang-orang yang diundang biasanya
orang yang memiliki kedudukan sosial yang baik dan kehidupan rumah
tangganya bahagia. Hal ini dimaksudkan agar calon mempelai kelak dapat
hidup seperti mereka. Jumlah orang yang diundang disesuaikan dengan
status sosial calon mempelai. Untuk golongan bangsawan tertinggi terdiri
dari sembilan orang dan setiap orang harus mengusapkan pacci ke
tangan calon mempelai sebanyak dua kali. Dalam adat Bugis, jumlah
tersebut biasanya disebutkan dalam bentuk angka yaitu 2 x 9 orang (duakkaséra). Untuk golongan bangsawan menengah berjumlah 2 x 7 orang (duakkapitu), sedangkan golongan di bawahnya berjumlah 1 x 9 atau 1 x 7 orang (Badruzzaman, 2007).
Adapun tata cara pelaksanaan pacci yaitu mula-mula orang yang telah ditunjuk mengambil sedikit daun pacci dari dalam bekkeng
kemudian meletakkan atau mengusapkannya pada kedua telapak tangan calon
mempelai yang dimulai dari telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri
dengan disertai doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup bahagia.
Pada saat orang-orang tersebut meletakkan pacci, sesekali indo’ botting (inang pengantin) yang duduk di samping mempelai menghamburkan wenno kepada calon mempelai maupun kepada orang-orang yang melettakkan pacci. Kemudian kepada orang telah memberikan pacci
dihadiahi rokok sebagai penghormatan atau ucapan terima kasih doa restu
yang telah diberikan kepada calon mempelai (Badruzzaman, 2007).
b. Resepsi atau Pesta Perkawinan
Secara garis besar, upacara atau resepsi perkawinan dibagi menjadi dua tahap yaitu mappénré botting dan marola.
- Mappénré Botting (mengntar pengantin)
Mappénré botting adalah mengantar mempelai pria ke rumah mempelai wanita untuk melaksanakan beberapa serangkaian kegiatan seperti madduppa botting, akad nikah, dan mappasiluka. Mempelai
pria diantar oleh iring-iringan tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
Adapun orang-orang yang ikut dalam iring-iringan tersebut di antaranya indo’ botting, dua orang passeppi (pendamping
mempelai) yang terdiri dari anak laki-laki, beberapa kerabat atau
orang-orang tua sebagai saksi-saksi pada acara akad nikah, pembawa mas
kawin, dan pembawa hadiah-hadiah lainnya.
- Madduppa botting (menyambut kedatangan pengantin)
Madduppa botting berarti
menyambut kedatangan mempelai pria di rumah mempelai wanita. Acara
penyambutan tersebut dilakukan oleh beberapa orang yaitu dua orang paddupa atau penyambut (satu remaja pria dan satu wanita remaja), dua orang pakkusu-kusu (perempuan yang sudah menikah), dua orang pallipa sabbé (orang tua pria dan wanita setengah baya mengenakan sarung sutra sebagai wakil orang tua mempelai wanita), seorang wanita pangampo wenno (penebar wenno), serta satu atau dua orang paddupa botting
yang bertugas menjemput dan menuntun mempelai pria turun dari mobil
menuju ke dalam rumah (Badruzzaman, 2007). Sementara itu, seluruh
rombongan mempelai pria dipersilakan duduk pada tempat yang telah
disediakan untuk menyaksikan pelaksanaan acara akad nikah.
- Akad nikah
Orang
Bugis di Sulawesi Selatan umumnya beragama Islam. Oleh karena itu,
acara akad nikah dilangsungkan menurut tuntunan ajaran Islam dan
dipimpin oleh imam kampung atau seorang penghulu dari Kantor Urusan
Agama (KUA) setempat. Sebelum akad nikah atau ijab qabul dilaksanakan,
mempelai laki-laki, orang tua laki-laki (ayah) atau wali mempelai
wanita, dan dua saksi dari kedua belah pihak dihadirkan di tempat
pelaksanaan akad nikah yang telah disiapkan. Setelah semuanya siap,
acara akad nikah segera dimulai.
Seperti
halnya adat perkawinan suku bangsa lain yang menganut ajaran Islam,
pelaksanaan akad nikah dilangsungkan berdasarkan urutan acara seperti
berikut yaitu dimulai dari pembacaan ayat suci al-Quran, kemudian
dilanjutkan pemeriksaan berkas pernikahan oleh penghulu, dan penanda
tanganan berkas oleh kedua mempelai, wali, dan saksi-saksi. Khusus untuk
mempelai wanita, penantanganan berkas dilakukan di dalam kamar karena
ia tidak boleh keluar kamar selama proses akad nikah berlangsung.
Setelah
itu, acara dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau
wali mempelai wanita kepada imam atau penghulu untuk proses ijab kabul. Ijab kabul
dimulai dengan khutbah nikah oleh imam atau penghulu. Kemudian mempelai
pria duduk berhadap-hadapan dengan imam atau penghulu sambil
berpegangan ibu jari (jempol) tangan kanan.[2]
Dengan bimbingan imam, mempelai pria mulai mengucapkan beberapa bacaan
seperti istigfar, dua kalimat syahadat, shalawat, dan ijab kabul. Sighat atau kalimat ijab kabul
yang disampaikan oleh mempelai pria harus jelas kedengaran oleh para
saksi untuk sahnya akad nikah. Oleh karena itu, tak jarang mempelai pria
harus mengulanginya hingga dua tiga kali (Pelras,2006:183).
- Mappasikarawa atau mappasiluka (persentuhan pertama)
Setelah proses akad nikah selesai, mempelai pria dituntun oleh orang yang dituakan menuju ke dalam kamar mempelai wanita untuk ipasikawara (dipersentuhkan). Kegiatan ini disebut dengan mappasikarawa, mappasiluka atau ma’dusa’ jénné,
yaitu mempelai pria harus menyentuh salah satu anggota tubuh mempelai
wanita. Kegiatan ini dianggap penting karena menurut anggapan sebagian
masyarakat Bugis bahwa keberhasilan kehidupan rumah tangga kedua
mempelai tergantung pada sentuhan pertama mempelai pria terhadap
mempelai wanita. Menurut Mame et. al. (1977/1978:78), ada banyak variasi mengenai bagian tubuh mempelai wanita yang harus disentuh, yaitu di antaranya:
- Buah dada sebagai lambang gunung, yaitu dengan harapan rezeki kedua mempelai kelak menggunung.
- Ubun-ubun atau leher belakang, yaitu mengandung makna agar wanita itu tunduk kepada suaminya.
- Menggenggam tangan mempelai wanita, yaitu mengandung makna agar kelak hubungankeduanya kekal atau langgeng.
- Perut, yaitu mengandung makna agar kehidupan mereka kelak tidak mengalami kelaparan dengan angggapan bahwa perut selalu diisi.
Setelah acara mappasikarawa selesai, kedua mempelai kemudian melakukan acara menyembah kepada kedua orang tua mempelai wanita dan keluarga-keluarga lainnya.
- Upacara nasehat perkawinan dan perjamuan
Setelah
kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan, selanjutnya diadakan
acara nasehat perkawinan. Tujuan dari acara ini adalah untuk
menyampaikan petuah, pesan, dan nasehat kepada kedua mempelai agar
mereka mampu membangun rumah tangga yang sejahtera, rukun, dan damai.
Nasehat perkawinan biasanya disampaikan oleh seorang ustadz yang telah
mempraktekkan cara membangun rumah tangga yang sejahtera dan bahagia
sehingga dapat dijadikan teladan bagi kedua mempelai.
Selanjutnya upacara mappénré botting ditutup
dengan upacara jamuan santap bersama. Pada zaman dahulu, upacara
perjamuan dilakukan dengan cara melantai atau lesehan. Hidangan nasi
dengan berbagai lauk-pauknya serta kue-kue tradisional khas Bugis
digelar di lantai yang diberi alas kain panjang berwarna-warni. Namun,
sejak adanya persewaan gedung dan tenda dengan segala perlengkapannya,
perjamuan dilakukan dengan cara prasmanan. Dengan selesainya upacara
perjamuan, maka seluruh rangkaian acara mappénré botting
telah selesai. Rombongan mempelai pria berpamitan kepada pihak keluarga
mempelai wanita. Sementara itu, pengantin pria tidak ikut serta dalam
rombongannya karena ia harus melakukan acara mapparola bersama mempelai wanita.
- Marola atau mapparola
Marola atau mapparola
adalah kunjungan balasan dari pihak mempelai wanita ke rumah mempelai
pria. Pengantin wanita diantar oleh iring-iringan yang biasanya membawa
hadiah sarung tenun untuk keluarga suaminya. Setelah mempelai wanita dan pengiringnya tiba di rumah mempelai pria, mereka langsung disambut oleh seksi padduppa
(penyambut) untuk kemudian dibawa ke pelaminan. Kedua orang tua
mempelai pria segera menemui menantunya untuk memberikan hadiah paddupa berupa
perhiasan, pakaian, dan sebagainya sebagai tanda kegembiraan. Biasanya,
beberapa kerabat dekat turut memberikan hadiah berupa cincin atau kain
sutera kepada mempelai wanita, kemudian disusul oleh tamu undangan
memberikan passolo (kado).
Setelah
pemberian hadiah selesai, acara dilanjutkan dengan nasehat perkawinan
oleh seorang ustadz yang tujuannya sama seperti nasehat perkawinan di
tempat mempelai wanita. Selanjutnya, upacara mapparola ditutup
dengan perjamuan kepada rombongan mempelai wanita dan para tamu
undangan. Mereka disuguhi berbagai macam hidangan makanan dan kue-kue
tradisional Bugis. Usai acara perjamuan, kedua mempelai bersama
rombongannya massimang (mohon diri) kepada kedua orang tua mempelai pria untuk kembali ke rumah mempelai wanita.
c. Upacara Pasca Perkawinan
Setelah
upacara perkawinan dilangsungkan, masih terdapat sejumlah kegiatan yang
juga perlu dilakukan sebagai bagian dari adat perkawinan Bugis, di
antaranya adalah mallukka, ziarah kubur, dan massita béseng.
- Mallukka botting (melepas pakaian pengantin)
Setelah tiba di rumah mempelai wanita, busana adat pengantin dan segala aksesoris yang dikenakan oleh kedua mempelai dilepaskan.
Pengantin pria kemudian mengenakan celana panjang berwarna hitam,
kemeja panjang berwarna putih, dan kopiah. Sementara pengantin wanita
mengenakan rok atau celana panjang, kebaya, dan kudung. Setelah itu,
pengantin pria dilingkari tubuhnya dengan tujuh lembar sarung sutera
untuk kemudian dilepas satu persatu dan dilemparkan ke arah bujang atau
gadis-gadis yang ada di sekelilingnya. Menurut kepercayaan orang Bugis,
bujang atau gadis yang terkena lemparan sarung tersebut diharapkan
segera mendapat jodoh.
- Ziarah kubur
Sehari
setelah perkawinan berlangsung, kedua pengantin baru tersebut bersama
keluarga sang istri melakukan ziarah ke makam-makam leluhur. Kegiatan
ini dimaksudkan sebagai penghormatan dan rasa syukur bahwa keluarga
mereka telah melaksanakan pesta perkawinan.
- Massita béseng (bertemu besan)
Massita béseng
adalah kunjungan kedua orang tua pengantin laki-laki bersama beberapa
kerabat dekat ke rumah pengantin wanita untuk bertemu dengan besannya
(orang tua pengantin wanita). Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada
malam harinya yakni seusai acara mallukka atau satu hari setelah
pesta perkawinan selesai. Tujuannya adalah untuk bersilaturrahmi dan
saling mengenal antarkedua keluarga secara lebih dekat. Dalam kunjungan
tersebut rombongan orang tua pengantin pria membawa lisek rantang
(isi rantang) yang terdiri dari dua belas macam lauk-pauk dan kue-kue
tradisional Bugis untuk keluarga pengantin wanita. Acara silaturrahmi
biasanya ditutup dengan jamuan santap siang/malam bersama antara kedua
belah pihak keluarga sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas
terselenggaranya upacara perkawinan dengan sukses. Acara santap bersama
ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara perkawinan.
5. Nilai-Nilai
Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adapt perkawinan orang Bugis di antaranya adalah:
- Sakralitas. Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam ritual-ritual khusus seperti mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci, dan lain sebagainya. Ritual-ritual tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis dan bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT.
- Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada keberadaan proses peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargai kaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas kawin dan dui’ balanca yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda kemuliaan perempuan.
- Kekerabatan. Bagi orang Bugis, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua insan yang berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga besar. Dengan demikian, perkawinan merupakan salah satu sarana untuk menjalin dan mengeratkan hubungan kekerabatan.
- Gotong-royong. Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta perkawinan yang melibatkan kaum kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak tidak saja memberikan bantuan berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
- Status sosial. Pesta perkawinan bagi orang Bugis bukan sekedar upacara perjamuan biasa, tetapi lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta, semakin maka semakin tinggi status sosial seseorang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.
6. Penutup
Mappabotting merupakan
upacara adat perkawinan orang Bugis di Sulawesi Selatan. Perkawinan
menurut orang Bugis bukanlah sekedar untuk menyatukan kedua mempelai
pria dan wanita, tetapi lebih daripada itu adalah menyatukan dua
keluarga besar sehingga terjalin hubungan kekerabatan yang semakin erat.
Untuk itulah, budaya perkawinan orang Bugis perlu tetap dipertahankan
karena dapat memperat hubungan silaturrahmi antarkerabat.
(Samsuni/bdya/11-06/10).
Sumber foto: http://mystory85.blogspot.com
Referensi
Abdullah, H. 1983. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.
Badruzzaman. 2007. “Peranan syara’ dalam perkembangan Islam di Sulawesi Selatan”, [Online]. Tersedia dalam (http://bz69elzam.blogspot.com. [diakses pada tanggal 20 Juni 2010].
Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum perkawinan adat dengan adat istiadat dan upacara adatnya. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mame, A. Rahim, et. al. 1977/1978. Adat dan upacara perkawinan Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mattulada. 1985. Latoa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pelras, C. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Forum Jakarta-Faris École français d’Extrême-Orient.
[1]
Sebagian masyarakat Bugis menganggap bahwa perkawinan antarsepupu satu
kali ini dianggap “terlalu panas” karena dipercaya dapat mendatangkan
malapetaka atau penyakit berupa cacat tubuh bagi keturunan mereka. Oleh
karena itu, hubungan perkawinan semacam ini jarang terjadi, kecuali di
kalangan bangsawan tertinggi untuk menjaga kemurnian darah putih atau darah kebangsawanan yang mengalir dalam tubuh mereka.
[2] Dalam proses ijab kabul,
mempelai pria dan imam biasanya saling adu kekuatan jempol. Jika
mempelai pria berhasil mengalahkan kekuatan jempol imam maka dipercaya
kelak setelah menikah istrinya mudah tunduk kepadanya. Begitu
sebaliknya, jika kekuatan jempolnya dikalahkan oleh imam dipercaya
dialah yang akan tunduk kepada istrinya. Oleh karena itu, mempelai pria
harus berusaha mengalahkan kekuatan jempol imam agar kelak tidak
ditundukkan oleh istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar